PENDIDIKAN AHLAK TENTANG “Kebebasan Tanggung Jawab Dan Hati Nurani”

BABI
PENDAHULUAN

Alhamdulillah, berkat taufik dan hidayah serta pertolongan Allah SWT. Akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI”.
            Sholawat serta salam tak lupa semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikutrnya hingga hari kiamat nanti. Karena berkat beliau lah agama Islam sampai kepada kita semua.
            Masalah kebebasan dari dahulu sampai sekarang masih dipermasalahkan terutama dalam pembahasan dalam masalah teologi. Di mana banyak perbedaan paham tentang masalah kebebasan manusia.
            Kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani semua mempunyai kaitan dan hubungan. Yang mana akan dibahas dalam makalah ini.
            Akhirnya, semoga makalah yang singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi kta semua. Semoga salah dan khilaf dimaafkan atas ketidaksempurnaan makalah ini.
            Wassalamu ‘alaikum





BAB II
                                    KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI
A.                                                                                                                              PENGERTIAN KEBEBASAN
Di antara yang masalah menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Yakni adakah kehendak kita merdeka dalam memilih perbuatan yang kita buat? Adakah orang itu dapat memilih di antara berbuat atau tidak, dan dapatkah ia membentuk perbuatannya menurut kemauannya? Adakah kita merdeka dalam mengikuti apa yang diperintahkan etika, atau kita dapat mengikuti dan dapat menolak?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di kalangan para ahli teologi terbagi kepada dua kelompok. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemaunnya sendiri. Ia makan, minum, belajar, berjalan dan seterusnya adalah atas kemauan sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memilki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Jika manusia makan, minum, berjalan, bekerja dan setrusnya, pada hakikatnya mengikuti kehendak Tuhan. Dalam pandangan golongan yang kedua ini manusia tak ubahnya seperti wayang yang mengikuti sepenuhnya kemauan dalang.[1]
Dalam soal kebebasan manusia, terdapat dua paham radikal yang saling bertentangan, yakni Qodariyyah dan Jabariyyah. Istilah Qodariyyah berasal dari kata Qodar yang berarti ketetapan, hukum, ketentuan, ukuran, dan kekuatan; juga berarti apa yang dikehendaki Allah atas hamba-Nya dan ketergantungan kepada sesuatu pada waktunya.[2] Namun, istilah qodar juga berarti ketergantungan perbuatan hamba pada kekuatannya sendiri. Karena itu, Mu’tazilah dianggap berpaham Qodariyyah karena mereka berkeyakinan bahwa setiap orang adalah pelaku bagi perbuatannya sendiri.[3] Namun, al-Syahrastani berpendapat bahwa Mu’tazilah sendiri menolak sebutan Qodariyyah yang disandarkan kepada mereka. Mereka menganggap bahwa sebutan itu cocok bagi mereka yang percaya pada qodar (takdir) Allah.[4] Maka, kemungkinan besar bahwa istilah qodariyyah itu diberikan oleh lawan-lawannya, misalnya al-Asy’ari memakai istilah itu untuk menyebut kaum Mu’tazilah.[5]
Di sisi lain, Jabariyyah adalah paham yang berpendapat bahwa manusia itu lemah dan bahwa setiap yang terjadi pada diri manusia telah ditentukan oleh Allah sejak zaman azali. Jadi, manusia tidak bebas untuk memilih untuk berbuat atau menghindar dfari suatu perbuatan. Paham Jabariyyah dibawa oleh Jahm ibn Shafwan yang berpendapat bahwa manusia tidak punya daya dalam berikhtiar dalam perbuatannya sendiri.[6]
Kaum Asy’ariyyah dengan corak jabariyyah memandang manusia itu lemah dan karena itu manusia bergantung sepenuhnya kepada  kehendak Allah. Bagi Asy’ariyyah, allah adalah pencipta segala sesuatu, tak ada pencipta selain Dia. Dengan demikian, al-Asy’ari berpendapat bahwa segenap perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.[7]
Mungkin demi menunjukan adanya tanggung jawab manusia atas perbuatannya dan hak memperoleh balasan atas perbuatan itu, al-Asy’ari memakai istiulah al-kasb yang biasa diartikan dengan usaha.[8]
Al-Ghazali juga berpandapat bahwa Allahlah yang menciptakan daya sekaligus perbuatan manusia. Karena itu, ia menilai bahwa paham Qodariyyah yang dianut Mu’tazilah bertentangan dengan keyakinan yang dianut secara umum tentang tidak ada pencipta selain Allah.[9]
Al-jubba’i berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan manusia sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik atau jahat dan patuh serta ingkar kepada Allah terjadi atas kehendak manusia sendiri dengan daya yang sudah ada dalam dirinya.[10] Sejalan dengan itu, Abduljabbar mengatakan bahwa perbuatan manusia bukan diciptakan langsung oleh Allah, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkannya. Dalam melakukan perbuatannya manusia memiliki daya,[11] dan dengan daya itulah manusia bebas berikhtiar dalam berbuat.[12]
Dizaman baru ini perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.[13] Manakah di antara dua pendapat yang paling benar bukan hak kita untuk menilainya, karena masing-masing memiliki argumentasi yang sama-sama kuat dan meyakinkan. Kecenderungan masing-masing pembacalah yang mana di antara dua aliran itu yang lebih diterima akal pikirannya.
Dalam kaitan dengan keperluan kajian akhlak, tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan melakukan perbuatannyalah  yang akan diikuti disini. Sementara golongan yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan juga akan diikuti di sini dengan menempatkannya secara proporsional. Yakni dalam hal bagaimanakah manusia itu bebas, dan dalam hal bagaimana pula manusia itu terbatas. Dengan cara demikian kita mencoba berbuat adil terhadap kedua kelompok yang berbeda pendapat itu.
Kebebasan sebagaimana dikemukakan ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seorang disebut bebas apabila:
1.      Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya
2.      Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya, dan
3.      Tidak dipaksa atau terikat untuk memuat sesuatu yang tidak akan dpilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.[14]
Selain itu kebebasan itu meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya. Namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang bersifatnya rohaniah. Dengan demikaian keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.
Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi tiga. Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Dan kita dijumpai adanya batas-batas jangkauan yang dapat dilakukan oleh anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu. Manusia misalnya berjenis kelamin dan berkumis, tetapi tidak dapat terbang, semua itu tidak disebut melanggar kebebasan jasmaniah kita, karena kemempuan terbang berada di luar kapasitas kodrati yang dimiliki manusia. Yang dapat dikatakan melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang atau lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.
Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh kemungkinan untuk berfikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja. Kebebasan kehendak berada dengan kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya dikurung.
Ketiga, kebebasan moral dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menuntukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.
Selanjutnya manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-dorongannya di dalam, melainkan ia membuat diri sendiri berhdapan dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian kebebasan merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan dunianya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar.[15]
Paham kebebasan pada manusia ini sesuai firman Allah.
yang artinya:
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (Q.S Al-Kahfi: 29)
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Fushilat: 40)
Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang kepada manusia untuk secara bebas menentukan tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.
B.     TANGGUNG JAWAB
Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan di atas itu ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanda ada kebebasan. Di sinilah letak kebebasan dengan tanggung jawab.
Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti:
1.      Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri
2.      Kemampuan untuk bertanggung jawab
3.      Kedewasaan manusia, dan
4.      Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.
Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hatinya, bahwa tindakannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati itu, setidak-tidaknya menurut keyakinannya.
Dengan demikian tanggung jawab dalam akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian tersebut menunjukan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena permasalahan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bartanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.[16]
C.    HATI NURANI
Hati dalam bahasa Arab disebut dengan qolb, yang berarti “sesuatu yang berputar atau berbalik.”[17]
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul aliran atau paham intuisisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang 
Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah-satu dasar atas pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.
Dari paham kebebasan yang demikian itu, maka timbullah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nuranidan moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.[18]
D.    HUBUNGAN KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI
Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat bernilai akhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan dan perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya dari orang yang melakukannya. Di sinilah letak hubungan antara tanggung jawab dan perbuatan akhlak.
Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikian penting.
Dengan demikian, maslah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Di sinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.[19]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Pertama kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemaunnya sendiri
·         Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memilki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan
·         Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi tiga
·         Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab
·         Tanggung jawab dalam akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik
·         Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan
·         Kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani, semua mempunyai hubungan.







                                                                            DAFTAR PUSTAKA
 Nasution,  Harun, Teologi (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press
Saliba, Jamil, al-Mu’jam al-falsafi, juz 2, Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani
Al-Maraghi,  Abdullah Musthafa, al-Fath al-Mubin, juz 2, Beirut: Muhammad Amin Dimaj
Al-syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,, Beirut: Dar al-fikr, t.t.
Al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, t.tp.: Idarah al-Thab’ah al-Munirah, t.t.
Al-asy’ari, Kitab al-luma’, Mesir: Dar al-Mishriyyah Li al-Ta’lif wa al-Turjumah
Amin, Ahmad, Zhuhr al-islam, juz 4, Beirut: t.p
Al-ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Ibrahim Agah Cubucku dan Husain Atay (ed.), Ankara: Ankara University
Abduljabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah
Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak, (terj.) Farid Ma’ruf, dari judul asli al-Akhlaq, cetakan 1, Jakarta:  Bulan Bintang
Zubair, Ahmad Charris, Kuliah Etika, cetakan 1, Jakarta: Rajawali Pers
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, cetakan 9, Jakarta: Rajawali Pers
Kazhim,  Musa, Belajar Menjadi Sufi, cetakan 1, Jakarta: Lentera
Haq, hamka,  Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, Erlangga



[1] Harun Nasution, Teologi (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1972), hal.87.
[2] Jamil Saliba, al-Mu’jam al-falsafi, juz 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973), h. 186.
[3] Abdullah Musthafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin, juz 2, (Beirut: Muhammad Amin Dimaj, 1974, h. 204.
[4] Al-syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,, (Beirut: Dar al-fikr, t.t.), h. 43.
[5] Al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, (t.tp.: Idarah al-Thab’ah al-Munirah, t.t.), h. 59.
[6] Jamil Saliba, al-Mu’jam al-Falsafi, op. Cit., juz 1, h. 388.
[7]Al-asy’ari, Kitab al-luma’, (Mesir: Dar al-Mishriyyah Li al-Ta’lif wa al-Turjumah, 1965), h. 37.
[8] Ahmad amin, Zhuhr al-islam, juz 4, (Beirut: t.p., 1969), h. 79.
[9] Al-ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Ibrahim Agah Cubucku dan Husain Atay (ed.), (Ankara: Ankara University, 1962), h. 84.
[10]Al-Syahrastani, al-Milal, op. Cit., h. 81.
[11] Abduljabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965), h. 323.
[12] Abdullah Musthafa al-Maragi, al-Fath, op. Cit., juz 2, h. 367.
[13] Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, (terj.) Farid Ma’ruf, dari judul asli al-Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975, cet.1, hal.53
[14] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), cet.1, hal.39-40.
[15] Ibid., hal.43.
[16] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,  2010), h. 133  - 135.
[17] Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 84.
[18] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, op. Cit., h. 135.
[19] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, op. Cit., h. 136.

No Response to "PENDIDIKAN AHLAK TENTANG “Kebebasan Tanggung Jawab Dan Hati Nurani”"

Posting Komentar